Minggu, 29 Oktober 2017
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Kurikulum
Istilah
kurikulum berasal dari bahasa Latin “curriculum”,
semula berarti “a running course, or
race course, especially a chariot race course,” (Nasution, 1988: 9) Menurut
pengertian ini, kurikulum adalah suatu arena “arena pertandingan” tempat
belajar “bertanding” untuk menguasai suatu pelajaran guna mencapai “garis
finish” berupa diploma, ijazah atau gelar sarjana. (Zais, 1976: 6-7).
Selain
itu ada juga yang mendefinisikan kurikulum itu, dengan pengertian yang luas,
seperti yang diungkapkan oleh Alice Miel dalam bukunya Changing the Curriculum a Social Process, ia mengungkapkan: “ bahwa
kurikulum juga meliputi gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan,
pengetahuan, dan sikap orang-orang yang meladeni dan diladeni sekolah, yakni
anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia.” (Miel, 1946: 10) Jadi,
menurut ini kurikulum itu meliputi segla pengalaman dan pengaruh yang bercorak
pendidikan yang diperoleh anak di sekolah.
B. Dasar-dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Dua
orang penulis pendidikan Islam, Al-Syaibani (1979:523-532) dan Abdul Mujib (2006:125-131)
menetapkan dasar pokok bagi kurikulum tersebut sebagai berikut:
1. Dasar
Religi
Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang berdasarkan agama. Sehingga dasar religi menjadi
dasar utama. Dasar ini ditetapkan berdasarkan nilai-nilai Ilahi. Penetapan nilai-nila
tersebut didasarkan pada Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan Tuhan untuk
umat manusia. Nabi bersabda, «Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kamu
dua perkara, yang jika .kamu berpegang teguh padanya, maka kamu tidak akan
tersesat selama-lamanya, yakni Kitabullah (al-Qur›an) dan Sunnah
Nabi-Nya». (HR.Hakim).
2. Dasar
Falsafah
Dasar
filosofis menjadi penunjuk arah bagi tujuan pendidikan Islam. Sehingga kurikulum
mengandung kebenaran sesuai dengan apa yang dikandung oleh pandangan hidup tersebut
(Islam). Menurut Abdul Mujib (2006:126-128) dasar fiosofis ini membawa pada
tiga dimensi, yaitu dimensi ontologis (objek atau sumber), dimensi
epistemologis (cara), dan dimensi aksiologis (manfaat). Uraiannya sebagai
berikut :
1. Dimensi
ontologis. Dimensi ini mengarahkan peserta didik untuk berhubungan langsung dengan objek yang dikaji. Baik
yang berbentuk realitas fisik, ataupun realitas nonfisik (ghaib).
2. Dimensi
epistemologis. Epistemologis menyangkut bagaimana kurikulum dibentuk dan esensi
atau konten kurikulum yang dapat mengarahkan cara memperoleh pengetahuan bagi
siswa. Dan kurikulum dinilai valid apabila didasarkan pendekatan ilmiah. Jadi kurikulum
harus bersifat universal, reflektif dan kritis sehingga dimensi ini
berimplikasi pada rumusan kurikulum.
3. Dimensi
aksiologis. Manfaat (aksiologis) dari perumusan kurikulum Pendidikan Islam yang
didasari dengan falsafah adalah untuk terciptanya tujuan ideal dari pandangan hidup
manusia. Dalam hal ini Islam. Alhasil aksiologisnya didasarkan pula pada
idealitas keberhasilan dalam Islam.
Ada
beberapa sebutan atau klasifikasi keberhasilan hidup seseorang (pribadi) dalam Islam,
diantaranya, insan Kamil, Insan Kaffah, dan Insan yang menyadari kewajibannya. Allah
Swt berfirman:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah:208)
3. Dasar
Psikologis
Dasar
psikologis kurikulum menurut pendidikan Islam memandang kondisi peserta didik berada pada dua
posisi, yaitu sebagai anak yang hendak dibina dan sebagai
pelajar yang hendak mengikuti proses pembelajaran. Dasar ini memberikan landasan
dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan perkembangan psikis peserta
didik.
4. Dasar
Sosiologis
Dasar
ini berimplikasi pada kurikulum pendidikan supaya kurikulum yang dibentuk
Hendaknya
dapat membantu pengembangan masyarakat. Terutama karena pendidikan berfungsi
sebagai sarana transfer of culture (pelestarian kebudayaan), proses
sosialisasi individu dan rekontruksi sosial.
5. Dasar
Organisatoris
Dasar
ini menjadi acuan dalam bentuk penyajian bahan pelajaran. Dasar ini berpijak pada
teori psikologi asosiasi yang menganggap keseluruhan sebagai kumpulan dari bagian-bagiannya.
Dan juga berpijak pada teori psikologi Gestalt yang menganggap keseluruhan
mempengaruhi oraganisasi kurikulum yang disusun secara sistematis tanpa adanya
batas-batas antara berbagai mata pelajaran. Namun, kedua psikologi ini memiliki
kekurangan dan kelebihan.
Herman H. Horne memberikan dasar bagi
penyusunan kurikulum dengan tiga macam yaitu :
1. Dasar
Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh
dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and needs of children);
2. Dasar
sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang syah dari masyarakat (the
legitimate demands of society);
3. Dasar
Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup
(the kind of universe in which we live) (Abdul Mujib, 2006:124). Selain
teoritis filosofis penyusunan kurikulum haruslah berdasarkan asas-asas dan orientasi
tertentu. S. Nasution (1991:24) berpendapat mengenai asas-asas penyusunan kurikulum
meliputi asas filosofis, sosiologi, organisatoris dan psikologis. Asas
filosofis berperan sebagai penentu tujuan umum pendidikan. Sedangkan asas
sosiologis berperan memberikan dasar untuk menentukan materi pelajaran sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Asas organisatoris berfungsi memberikan dasar-dasar dalam bentuk
pelajaran yang akan disusun, yang terakhir asas psikologis berperan memberikan
berbagai prinsip-prinsip tentang perkembangan anak didik dalam berbagai
aspeknya, serta cara menyampaikan bahan pelajaran agar dapat dicerna oleh anak
didik sesuai dengan tahap perkembangan.