Kamis, 12 Oktober 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Surat
Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri
dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan
saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya
berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam Al Qur’an. Para ulama
bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari
seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surat-surat
sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu surat yang
diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat ini berada
di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat.
Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar
gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta
pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat
kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam
surat Al Fatihah.
Kedudukan
surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran Islam yang
mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata
: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah (Al-Fatihah) adalah Ummul
Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan Al-Qur’anul Adhim.” (HR.
At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan Ummul Kitab atau Ummul
Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya mencakup inti ajaran
Al-Quran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Surat Al-Fatihah Dan Terjemahannya
2.
Penjelasan Umum Surat Al-Fatihah
3. Tafsir Surat
Al-Fatihah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat
Al-Fatihah dan Terjemahannya
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2)
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 1 - 7]
- Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
- Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam;
- Maha Pemurah lagi Maha Penyayang;
- Yang menguasai Hari Pembalasan.
- Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
- Tunjukkanlah kami jalan yang lurus;
- (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B. Penjelasan
Umum Surat Al-Fatihah
terdiri dari tujuh ayat dan menurut
mayoritas ulama diturunkan di amun menurut pendapat sebagian ulama, seperti
Mujahid, surat ini diturunkan di Madinah. Menurut pendapat lain lagi, surat ini
diturunkan dua kali, sekali di Mekkah, sekali di Madinah. Ia
merupakan surat pertama dalam daftar surat Al-Qur’an. Meski demikian, ia
bukanlah surat yang pertama kali diturunkan, karena surah yang pertama kali
diturunkan adalah Surah al-Alaq.
ini dinamakan al-fatihah (pembuka)
karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali
Al-Qur’an, dan sebagai bacaan yang mengawali dibacanya surah lain dalam shalat.
Selain al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama
dengan Ummul Kitab. Namun nama ini tidak disukai oleh Anas,
al-Hasan, dan Ibnu Sirin. Menurut mereka, nama Ummul Kitab adalah
sebutan untuk
al-Lauh al-Mahfuzh. Selain
kedua nama itu di atas, menurut as-Suyuthi memiliki lebih dari dua puluh nama,
di antaranya adalah al-Wafiyah (yang mencakup), asy-Syafiyah (yang
menyembuhkan), dan as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang
diulang-ulang).
C.
Tafsir Surat Al-Fatihah
·
Ayat pertama
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [الفاتحة : 1]
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”
Kalimat basmalah tersebut bermakna:
“Aku memulai bacaanku ini seraya memohon
menyebut seluruh nama Allah.” Idiom “nama Allah” berarti mencakup semua
nama di dalam Asmaul Husna. Seorang hamba harus memohon pertolongan kepada
Tuhannya. Dalam permohonannya itu, ia bisa menggunakan salah satu nama Allah
yang seusai dengan permohonannya. Permohonan pertolongan yang paling agung
adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Dan yang paling utama lagi adalah
dalam rangka membaca kalam-Nya, memahami makna kalam-Nya, dan meminta
petunjuk-Nya melalui kalam-Nya.
Allah adalah Dzat yang harus
disembah. Hanya Allah yang berhak atas cinta, rasa takut, pengharapan, dan
segala bentuk penyembahan. Hal itu karena Allah memiliki semua sifat
kesempurnaan, sehingga membuat seluruh makhluk semestinya hanya beribadah dan
menyembah kepada-Nya.
·
Ayat ke dua
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (2) [الفاتحة : 2]
“ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Ayat ini merupakan pujian kepada Allah karena Dia
memiliki semua sifat kesempurnaan dan karena telah memberikan berbagai
kenikmatan, baik lahir maupun batin; serta baik bersifat keagamaan maupun
keduniawian. Di dalam ayat itu pula, terkandung perintah Allah kepada para
hamba untuk memuji-Nya. Karena hanya Dialah satu-satunya yang berhak atas
pujian. Dialah yang menciptakan seluruh makhluk di alam semesta. Dialah yang
mengurus segala persoalan makhluk. Dialah yang memelihara semua makhluk dengan
berbagai kenikmatan yang Dia berikan. Kepada makhluk tertentu yang terpilih,
Dia berikan kenikmatan berupa iman dan amal saleh.
·
Ayat ke tiga
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (3) [الفاتحة : 3]
“Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”
Kedua kata tersebut adalah kata
sifat yang berakar pada satu kata, yaitu ar-rahmah. Secara bahasa,
kata rahmat berarti kasih di dalam hati yang mendorong
timbulnya perbuatan baik. Makna bahasa ini kurang tepat untuk menggambarkan
sifat Allah. Karena itulah, para ulama lantas lebih sepakat untuk menyatakan
bahwa kasih sayang adalah sifat yang ada dalam Dzat Allah. Kita tidak
mengetahui bagaimana hakikatnya. Kita hanya menyadari efek dari sifat kasih
sayang-Nya, yaitu berupa kebaikan.
Banyak para ulama yang membedakan
antara makna ar-Rahmandan ar-r-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang memberikan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sedangkan sifat ar-Rahim adalah sifat kasih sayang-Nya yang
memberikan kenikmatan secara khusus untuk orang-orang mukmin saja. Sebagian
ulama lain menyatakan bahwa sifat ar-Rahman merupakan sifat kasih sayang Allah
yang memberikan kenikmatan yang bersifat umum. Sedangkan sifat ar-Rahim
merupakan sifat kasih Allah yang memberikan kenikmatan yang bersifat khusus.
Menurut Syekh Thanthawi Jauhari, kata ar-Rahman merupakan
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan Dzat-Nya. Allah merupakan sumber
kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata ar-Rahim adalah
sifat kasih sayang Allah yang berkaitan dengan perbuatan, yaitu bagaimana
sampainya kasih sayang dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya yang diberi
kenikmatan.
·
Ayat ke
empat
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) [الفاتحة : 4]
“Yang menguasai di hari Pembalasan”
Dalam ayat ini, terdapat dua macam
qiraat. Ashim, al-Kisa’i, dan Ya’qub membacanya dengan huruf mim
dibaca panjang (mad). Sedangkan para qari yang lain membacanya
dengan huruf mim tidak dibaca panjang (mad). Meski bisa
dibaca dengan dua cara, kata tersebut memiliki makna yang sama. Sebagian ulama
menyatakan bahwa kata al-Maalik atau al-Malik bermakna
Yang Maha Kuasa untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi
ada. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu
kecuali Allah SWT.
Menurut Ibnu Abbas, Muqatil, dan
as-Sadi, ayat tersebut berarti “yang memutuskan di hari
perhitungan.” Menurut Qatadah, kata ad-din (الدين)
berarti pembalasan. Dalam hal ini, pembalasan berlaku atas semua kebaikan dan
keburukan. Sedangkan menurut Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi, ayat tersebut
bermakna “yang menguasai hari ketika tak ada lagi yang bermanfaat kecuali
agama.” Menurut pendapat lain, kata ad-din berarti ketaatan.
Dengan demikian, yaum ad-din berarti hari ketaatan. Saat
itu, hanya ketaatan hamba kepada Tuhan yang menyelamatkannya dari siksaan
neraka.
·
Ayat ke lima
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) [الفاتحة
: 5]
“Hanya Engkaulah
yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
Dengan kalimat hanya
kepada-Mu kami menyembah (إِيَّاكَ نَعْبُدُ), Allah membatasi penyembahan
atau ibadah hanya kepada Diri-Nya semata. Dengan ayat tersebut, kita pun harus memutuskan
bahwa ibadah hanyalah satu-satunya kepada Allah. Tidak boleh ibadah tersebut
dikait-kaitkan dengan selain Allah. Ibadah juga merupakan bentuk ketundukan
manusia kepada Allah untuk mengikuti berbagai perintah dan larangan-Nya.
Shalat merupakan bentuk ibadah yang
paling dasar (asasi). Dalam hal ini, sujud merupakan bentuk ketundukan yang
paling tinggi kepada Allah. Hal ini karena dalam bersujud, orang menundukkan
wajahnya yang notabene merupakan bagian tubuh yang paling dimuliakan. Saat
bersujud, orang menempelkan wajahnya di atas lantai yang notabene merupakan
tempat yang biasa diinjak-injak oleh kaki. Apalagi di dalam shalat, terutama
shalat berjamaah, ketundukan seseorang kepada Allah juga dipertontonkan kepada
semua orang.
Ditempatkannya kalimat “permintaan
tolong” (نَسْتَعِينُ)
setelah kalimat “penyembahan” (نَعْبُدُ) juga merupakan bentuk pengajaran Allah
kepada manusia tentang sopan santun. Allah memerintahkan kita untuk beribadah
kepada-Nya terlebih dahulu. Setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita
pantas untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Dengan kata lain, sudah
selayaknya, orang meminta sesuatu setelah ia terlebih dahulu mengerjakan apa
yang diperintahkan. Sangat tidak pantas jika seseorang meminta segala sesuatu
terlebih dahulu padahal ia belum melaksanakan apa yang diperintahkan.
·
Ayat ke enam
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) [الفاتحة :
6]
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Menurut Ibnu Abbas, kata
“tunjukkanlah kami” (اهْدِنَا)
berarti “berilah kami ilham.” Sedangkan “jalan yang lurus” (xالصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) berarti kitab Allah. Dalam riwayat lain
“jalan yang lurus” itu adalah agama Islam. Selain itu, ada juga riwayat yang
menyatakan bahwa ia berarti “al-haqq” (kebenaran). Dengan demikian, menurut
Ibnu Abbas lagi, kalimat “tunjukkan kami jalan yang benar” berarti “berilah
kami ilham tentang agama-Mu yang benar, yaitu tiada tuhan selain Allah
satu-satunya; serta tiada sekutu bagi-Nya.
Kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) dalam ayat di atas mempunyai tiga macam
cara membaca (qiraat). Pertama, mayoritas qari,
membacanya dengan dengan huruf shad, sebagaimana yang tercantum
dalam mushaf Utsmani.Kedua, sebagian lain membacanya dengan
huruf siin, sehingga menjadi (السِرَاط). Ketiga, dibaca
dengan huruf zay (ز),
sehingga menjadi (الزِراَط). Sedangkan
menurut bahasa, seperti dikatakan at-Thabari, kata ash-shirath (الصِّرَاطَ) berarti jalan yang jelas dan tidak
bengkok.
Kataاهْدِنَا berasal dari
akar kata hidayah (هداية).
Menurut al-Qasimi, hidayah berarti petunjuk –baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan– kepada kebaikan. Hidayah tersebut diberikan Allah kepada hamba-Nya
secara berurutan. Hidayah pertama diberikan Allah kepada
manusia melalui kekuatan dasar yang dimiliki manusia, seperti pancaindra dan
kekuatan berpikir. Dengan kekuatan inilah, manusia bisa memperoleh petunjuk
untuk mengetahui kebaikan dan keburukan. Hidayah kedua adalah
melalui diutusnya para Nabi. Macam hidayah ini terkadang disandarkan kepada
Allah, para rasul-Nya, atau Alquran. Hidayah tingkatan ketiga adalah
hidayah yang diberikan oleh Allah kepada para hamba-Nya yang karena perbuatan
baik mereka. Hidayah keempat adalah hidayah yang telah ditetapkan
oleh Allah di alam keabadian. Dalam pengertian hidayah keempat inilah, maka
Nabi Muhammad tidak berhasil mengajak sang paman, Abi Thalib, untuk masuk
Islam.
·
Ayat ke
tujuh
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7) [الفاتحة : 7]
“ (yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Ayat ini merupakan penjelasan dan
tafsir dari ayat sebelumnya tentang apa yang dimaksud dengan “jalan yang
lurus” (الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ ). Jadi, yang dimaksud dengan “jalan
yang lurus” adalah “jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka”.
Sedangkan yang dimaksud dengan “jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”adalah jalan
orang-orang yang telah Allah beri anugerah kepada mereka, lalu Allah pun
menjaga hati mereka dalam Islam, sehingga mereka mati tetap dalam keadaan
Islam. Mereka itu adalah para nabi, orang-orang suci, dan para wali. Sedangkan,
menurut Rafi’ bin Mahran, seorang tabi’in yang juga dikenal dengan nama Abu
al-Aliyah, yang dimaksud dengan “orang-orang yang Engkau beri nikmat
itu” adalah Nabi Muhammad dan kedua sahabat beliau, yaitu Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan “bukan jalan mereka yang
dimurkai” (غير المغضوب
عليهم) adalah jalan yang ditempuh oleh
orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai oleh Allah dan mendapatkan kehinaan karena
melakukan berbagai kemaksiatan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang
sesat (الضالين) pada lanjutan ayat tersebut adalah
orang-orang Nasrani. Tafsir bahwa orang-orang dimurkai adalah Yahudi dan
orang-orang sesat adalah Nasrani sudah disepakati oleh banyak para ulama dan
diuraikan di dalam beberapa hadis dan ayat-ayat Alquran sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Surat
Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga
mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
iyah sudah
ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah).
Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka
merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan
bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada
Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh
Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan
bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk
mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah
SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim
tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya
kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim” yang
merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan seorang
hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus. Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil
‘alamin.”
B.
Saran
Hal itu
disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus
penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala sesuatu dan
penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di
antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan
tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah
nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat,
“Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah segala
makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, op.
cit., juz 1, hal. 136.
Ismail bin
Umar bin Katsir al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,(Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), juz 1, hal. 101.
Ismail bin Umar bin Katsir
al-Qarsyi ad-Damsyiqi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah
az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1391 H), juz 1, hal. 206.